Minggu, 15 Maret 2009

Salut

Pagi yang indah, tak ada hujan, jalan tak becek dan juga tak ada ojek. Sebab jalan setapak yang kulalui dekat menuju sekolah. ”Hari ini, masuk di kelas lima”, gumamku. Bel masuk berbunyi tiga kali, murid-murid berhamburan dan menuju masjid besar dekat sekolah kami. Masjid tua yang megah dan sudah direnofasi beberapa kali, juga penuh kenangan di dusun kecil yang bernuansa kampong santri. Meskipun kini tak ada lagi pesantren dan santri yang mengabdi sepenuhnya pada sang kiyai di dusun kecil ini, namun masih ada sisa peninggalan yang sarat akan kesejukan rohani didalamnya, dan itu yang membuat kami kangen jika telah lama meninggalkan kampong "matsari".
Setelah sholat dhuha di jalankan dengan dipimpin oleh seorang guru, para siswa masuk menuju kelasnya masing-masing, begitu juga aku. Setelah menerangkan beberapa materi dan dibumbui dengan cerita yang membuat semangat di pagi yang secerah mentari , tugas pun mengalir ditangan-tangan mungil. Dan kuingin tahu seberapa jauh kefahaman ilmu yang kusampaikan tadi.
"Bu….saya sudah selesai", seorang anak jangkung mendekatiku dengan menyodorkan buku pekerjaannya. Tampak di wajah tirisnya yang manis, meskipun kulitnya gelap bagai terbakar matahari tapi tak menghilangkan jiwa kekanakannya.
” Cepat sekali?" tanyaku dengan menatap matanya yang sayu.
" Iya Bu, sudah saya taliti lho", rupanya ia tau maksudku yang tak menerima tugas sebelum dikoreksi ulang atau diteliti.
" letakkan diatas meja". Pintaku padanya, dan diletakkannya buku itu dengan tulisan yang tak rapi tapi aku mengerti maksudnya.
"Oh ya rama", nama lengkapnya Wahyu Romanda, dan ia berbalik menuju bengku ku
"Ya…Bu?".
"Saya pernah lihat kamu berjalan sendiri kemarin malam?". tayaku menyelidik, ia murid pindahan dari luar kota, dan menurut cerita temannya ia mengontrak di dusun sebelah, sebenarnya ia harus duduk di kelas enam. Karena kurang mampu maka ia harus tinggal kelas, dan yang membuat penasaran tentang hidupnya, ia sering pindah sekolah. Kata teman- teman guru yang menjadi tetangganya, keluarganya sangat memperhatinkan. Uang sekolah saja masih nunggak banyak, buku cetak pun tidak, entah uang jajan?.
" Dari mana kemarin?" tanyaku pelan, mata yang bening itu tampak memerah.
" Saya dari jualan, Bu".
"Jualan apa?".
" Jualan cilok di alun-alun kota".(cilok, bukan cinta lokasi yang di TV, tapi pentol yang terbuat dari tepung kanji dan ditambah sedikit daging dan bumbu)
" Sama siapa?".
"Sama kakak", jawab anak laki-laki yang usianya masih 12 tahun.
" Ohh…kakak yang waktu itu mengantar kamu kesekolah itu?", dia mengangguk. Seingatku dia pernah diantar seorang anak laki-laki yang wajahnya pun tak sama, kira-kira umurnya dua atau tiga tahun diatasnya, tapi sama-sama berkulit gelap.
"Setiap hari?". Dengan penuh penasaran. Wajahnya mulai memerah, tapi tak malu menjawab pertanyaanku.
"Iya, pulang sekolah sampai malam".
"Jam berapa pulang?".
"Kadang kalau sudah habis, cepat pulang. Tapi, kalau belum habis sampai malam, kira-kira pukul sepuluh malam baru pulang".
"Setiap hari laku banyak?".
"Kadang habis, kadang tidak. Pokoknya cukup buat makan sehari-hari dan jajan, Bu".
"Ya sudah kembali ketempat dudukmu", pintaku, dan ia pun berlalu dihadapanku.
Subhanallah, hatiku getir, sedini itu, harus mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Padahal disisi lain, teman-teman sebayanya yang beruntung masih punya segalanya, pada jam itu mereka asik bercengkrama dengan keluarga atau belajar, bahkan sudah terlelap dibuai mimpi malam yang hangat. Bersyukur sekali dahulu aku tak harus susah-susah dijalanan untuk membantu beban orang tua, sekolahpun tamat dengan jerih payah dan kerja keras kedua orang tua. Dan lain sekali dengan siswa satu ini, meski tak pintar di sekoah. Namun, semangat belajar dan sekolah demi masa depan tetap ia jaga. Mungkin masih banyak sekali sisi lain siswa-siswi yang belum kuketahui. Atau bahkan lebih suram dan penuh perjuangan dalam mengarungi hidup yang fana ini. Tapi siapapun mereka yang masih mengutamakan menuntut ilmu, walaupun dalam keadaan fakir atau himpitan ekonomi yang menyusahkan , aku sangat SALUT.
Saat matahari di ubun-ubun, 16 Juni 2008

Enter your email address:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar