Sabtu, 25 April 2009

Ada senyum pagi itu!

Pagi yang cerah dan tak ada mendung di Kotaku.pagi itu harus masuk kekelas untuk transfer ilmu. "banyak sekali yang harus diselesaikan hari ini." gumamku sendiri. satu selesai yang lain menanti melambaikan tangan ingin juga dikelarkan. "OH...Tuhan, kuatkanlah badanku" ada yang minta ini, minta itu capek dech!
tapi dengan basmalah akhirnya selesai juga separuhnya.

lalu....ada yang berbunyi dikantong bajuku, eh sebuah kiriman dari teman mampir ke dunia maya mungilku.

Batu Karang

hempasan ombak
menggulung,
menghantam,
kembali membaur biru ...
terpaan angin
menerjang,
mengoyak,
kembali menghampa putih...
siraman surya menyapu
menghajar,
kembali sirna menghitam...
dingin...
beku...
panas...
terjangan,
hantaman,
sapuan,
tak menggoyahkan Erotisme
dan angkuhan yang berpadu
menyatu...
menghiasi batu karang
nan kokoh menjulang


dikirim 16-04-2009

kuambil nafas dalam-dalam, jadi ingat ketika ku menepaki kaki diatas pasir hitam Mayangan.... namanya orang gunung, kegirangan lihat keagungan Allah SWT dihadapanku terlukis lautan lepas yang menakjubkan. tanpa sadar, ternyata aku senyum sendiri. tampak Bu Hanik menertawakanku. jadi MALU. Trimaksih kawan, hariku yang agak penat jadi bersemangat, he..he..

Enter your email address:

Minggu, 19 April 2009

KAMAL-LIA

“Taxi,mas?”. Sebuah taxi meluncur kearahku, dengan segera kumasuk dalam mobil putih itu sebab hari mulai senja.
Lega rasanya sudah sampai ditanah kelahiranku, ada sejuta rindu yang ingin kutumpahkan dan pasti akan banyak cerita yang mengalir dari bibir orang yang tersayang. ‘Nenek aku pulang!’ batinku, jalan ini tetap sama seperti ketika kutinggal dahulu. Lima tahun tahun pengembaraanku di negeri orang untuk sebuah obsesi pendidikan.
“Wukirsari, Pak”, kulihat dari sepion bapak sopir mengangguk mengerti tujuanku.
Desa itu terlalu mahal dan akan terus kubingkai kenangan manis didalamnya dilubuk hati ini. Maghrib menjelang, kulihat bangunan tua itu sudah tak asing lagi,meski direnovasi aku tetap mengenalnya.
“Assalamu’alaikum...”, tampaknya penghuninya sedang sholat berjamaah. Kuletakkan tas hitam kesayanganku itu diatas kursi jati, rasanya ku tak sabar dengan empunya istana kecil ini. Setelah dua orang suami istri itu mengucap salam akhir dari sholatnya, tampak meronanya melihatku duduk disamping mereka.
“Subhanallah.....cah ganteng ini ndak bilang kalau mau pulang!”, dikecupnya pipiku dengan sayang.
“Sudah dari tadi,nak?”
“Baru datang, nek!” kakek memelukku erat, tampak kurus sekali tubuh beliau.
“Sebentar tak buatkan kopi manis kesukaanmu ya!” dengan semangat nenek menuju dapur kecilnya yang kini lantainya bukan tanah lagi. Rasanya kangen berat dengan kopi buatan nenek sendiri.
“Bagaimana kuliahnya, sudah selesai?” kakek masih sangat sehat dan tegap diusianya yang hampir kepala tujuh.
“Alhamdulillah, tinggal wisuda saja. Sekarang masih liburan sambil nunggu jatah kursi wisuda”
“Ibumu sudah tahu kalau kamu pulang kesini?”
“Sudah,kek!”
“Kakek, ayo ajak Kamal makan bersama. Sayur asem sama dadar jagungnya sudah saya hangatkan. Nanti keburu dingin lho”. Tampak nenek sibuk sendiri menyiapkan piring dan hidangannya.
“ Saya sholat maghrib dulu,kek”.
“Ya sudah tak tunggu, Le”.
Suasana ini sudah lama sekali kuinginkan, makan bersama dengan lauk seadaanya tapi sangat istimewa. Dulu, nenek pernah marah besar karena aku terlambat pulang. Seusai mengaji sore, tiba-tiba dijalan ada layangan putus, namanya saja anak lanang, jelas tergiur dengan berlarian seperti kompetisi perebutan harta karun yang melayang diudara. Karena keasyikan, ba’da maghrib baru sampai rumah. Nenek sangat marah, membentakku dengan keras dan melarang aku mengaji besoknya. Tapi setelah aku menyesali dan tangisku sesenggukan, nenek memelukku erat dan menasihatiku agar tidak membuatnya khawatir. Sejak saat itu aku berjanji akan pulang tepat waktu, dan yang membuat tangisku diam adalah nenek menyuapiku sayur asam dan dadar jagung kesukaanku. Apalagi, setelah berlarian perut ini berontak minta diisi.
Setelah cerita mengalir dengan berjuta kerinduan mendalam, tak terasa hari mulai larut, jam dinding menunjuk pukul dua belas malam. Kami pun beristirahat, dan aku melepas lelah diatas kasur empuk yang masih tetap terjaga sepeninggalku. Diatas sana, bulan sabit tampak tersenyum melihat kebahagiaan kami dan sang burung hantu bertengger diatas pohon menutup perlahan matanya setelah menjadi pendengar cerita nostalgia kami bertiga.
Dua hari setelah kepulanganku dari kota Metropolitan, yang penuh kebisingan. Aku teringat pada kawan lamaku Idris. Dan hari ini juga kuputuskan untuk bersilaturahhim kerumahnya. Tak jauh dari desaku, dengan sepeda motor hanya satu kilometer jauhnya. Tampak Idris yang panen buah apel didepan rumah kaget dengan kehadiranku. Serta merta ia menghampiriku dan memelukku erat-erat seperti kebahagiaan menemukan mutiara didasar lautan yang dalam.
“O..walah, Mal-Kamal, nasibmu kok tetep wae. Nggak ada perubahan, tetep kurus kering kebanyakan filosofi kamu ini”. Kami tertawa, bercanda dan saling bertukar nasib.
“Kamu gak kepengen kayak aku yang sudah beranak pinang ini? Kapan cari istri? Jangan mikir soal teori, lama-lama kamu nikah sama benda putih-putih penuh sains iku”, Idris meledekku, sesekali ia mengecup putri kecilnya yang duduk dipangkuannya dengan manja, kupandangngi mereka berdua dan kujawab dengan senyum geli karena bicaranya yang khas, jujur dan apa adanya itu membuatku betah ngobrol dengannya.
“Doakan saja, aku segera nyusul. Nunggu wisudaku rampung dan materiku cukup buat menghidupi anak orang”.
“Walah, kelamaan kamu, Mal. Aku saja dulunya gak punya apa-apa. Toh sekarang masih bisa hidup, meskipun sederhana tapi keluargaku penuh syukur. Allah sudah menjatah rejeki kita. Pokonya yakin pada-Nya, kun fayakun-Nya turun”.
“Kamu sudah punya pacar belom?Atau kamu masih belum ada calon?” tampak putri kecilnya turun dari pangkuan Idris dan berlari masuk menemui ibunya.
Aku menggeleng sambil tertawa. “Aku belum ada calon,Kang!”.
“MasyaAlloh, mas Kamal gantenge koyok Ngene gak ono seng karep. Eman tenan”.
“Jangan ngeledek kawan, masih belum ada jodoh, ntar kalau sudah waktunya. Kun Fayakun!” sahutku.
“Jodoh itu jangan ditunggu, tapi dicari dan dikejar. Dulu waktu aku mengenal Sarah istriku, aku jungkir walik mendapatkannya. Kuasanya Allah, si Sarah direlakan juga sama abahnya untukku. Itu karena aku berdoa terus dan ikhtiar kepada Allah agar dipermudah jalan jodoh apalagi minta istri yang sholihah”.
“Iya Kang, tapi sampai sekarang masih ada yang sreg dijadikan istri. Di Kampus ada seorang wanita baik, dan kami sempat mengutarakan isi hati. Tapi, Allah berkehendak lain, ayahnya sudah menjodohkan dengan anak teman ayahnya. Dia tidak bisa menolak, dia orang yang nurut. Akhirnya kandas juga cintaku”. Tampak Idris manggut-manggut.
“Ya sabar, Mal. Mungkin bukan jodohmu. O ya, masih ingat sama Lia?”
“Lia?” nama itu?mencoba mengingatnya lagi.
“Kenapa dengan Lia?” tanyaku meneyelidik.
“Kok malah tanya ke aku? Aneh kamu ini, Mal!”
“Bagaimana kabarnya ya?” pikiranku menerawang membuka memori lama.
“Aku juga sudah lama nggak pernah tahu kabarnya, terakhir ketemu pas nikahanku dengan Sarah empat tahun lebih yang lalu”. Idris mulai mengingat-ingat
Lia, sosok yang sempurna dalam pikiranku. Dia adalah teman di SMP dulu. Karena kehadirannya, aku berubah menjadi sosok Arjuna, yang tebar pesona dan suka mencuri pandang padanya. Selama tiga tahun dari kelas satu aku memendam rasa padanya. Dan ketika aku mulai percaya diri, kuberanikan untuk memberi sepucuk surat cinta merah jambu yang kuminta pada adikku yang suka mengoleksi kertas surat beserta amplopnya sewarna.
Sang Arjuna, membidik anak panah kepada SriLia yang mempesona. Lewat Pramujaya teman seatap Lia, kutitipkan surat merah jambu itu untuknya. Selang seminggu dari pengiriman surat itu. Si Dewi Lia, menolak tawaranku untuk menjadi kekasihnya. Sebab masih terlalu dini bicara tentang cinta. Akhirnya kami menjadi teman yang baik hingga SMA. Sampai saat ini aku masih penasaran dengan Lia tentang perasaanya padaku. Adakah secuil cinta kepadaku dihatinya? Sebab ku tahu ketika aku mendapat beasiswa Kedokteran di UI Jakarta, raut wajahnya sedih dan bermuram durja. Disangkanya aku akan masuk ke PTN yang sama dengannya, Tuhan berkehendak lain. Sehingga, memberi jarak untuk kami berdua. Kudengar dari teman- teman, ia diterima di Universitas Brawijawa.
Ketika liburan awal puasa. Kuberanikan diri untuk mencari dimanakah istananya (seperti legenda Sang Arjuna mencari cinta saja). Karena semasa SMA tidak satu atap, pertemanan kami hanya lewat surat dan salam saja. Itu pun tidak sering, jika dijumlah surat yang sampai ditanganku darinya dengan tulisannya yang indah sebanyak dua buah, lumayan dari pada tidak ada. Waktu itu, esok harinya aku sudah harus kembali ke Jakarta. Bersyukur sekali dapat berjumpa pada malam awal bulan Ramadhan. Dia mengajakku yang awam ini untuk mengikuti program yang disusunnya. Dalam satu bulan harus menghatamkan Al-Qur’an, jadi sehari harus satu juz. Berat sekali batinku, tapi demi cinta, apasih yang tak bisa?
Kalau dia mungkin ringan saja melakukannya, sepertinya ia tahu kekuranganku yang masih mbeler mengaji. Nenekku saja sering memarahiku, pamitan mengaji malah mainan dengan si Entong (Samsul kawanku, badanya gemuk memang). Karena salahku sendiri, bacaanku tak terlalu baik tapi syukur masih bisa baca kalamullah yang mulia itu.
“Bagaimana, bisa khan?” suara lembutnya membuatku meng-Iya-kan saja.
“Kalau tidak sempat Khatam selama sebulan ini, baik aku atau sampean. Nanti ada hukumannya ya!”. “Kalau sampean ndak bisa Khatam, biar Lia hukum setelah lebaran” senyum tipis dan suara yang tegas itu membuatku tertunduk.
“Tapi, kalau Lia yang ndak nyampai, sampean yang beri hukuman, tapi hukuman buat Lia gak boleh berat-berat,ok!” macam mana ada istilah seperti itu pikirku, tapi boleh juga. Jarang-jarang aku khatam Al-Qur’an sebulan. Dasar Lia, ternyata ia romantis juga. Meski tak ada ikatan pacaran, perhatiaannya sangat mendalam.
“Nanti kita akan ketemu setelah lebaran, dan harus jujur ya! Allah saksinya!” kita sepakat akan bertemu lebaran nanti.
Setelah pulang dari kediamannya sang Putri, hati ini penuh bunga. Ada semangat yang membara, dan setelah kembali ke Jakarta kulaksanakan amanah itu sepenuh hati dibulan Ramadhan yang suci. Lebaran tinggal dua minggu lagi, rasanya tak sabar untuk pulang kekampung halaman. Namun, ada yang disesalkan, karena banyaknya tugas kuliah yang menggunung, dan dehidrasi karena puasa. Aku dirawat dirumah sakit, dan harus banyak istirahat selama tiga minggu.
Oh ..Tuhan, rasanya berat hati ini, jika tubuh terkapar lemah tak berdaya. Dan yang mengejutkan adalah nenek dan kakek hadir saat tubuh ini tak sehat. Setelah menerima telegram dari Syarif, teman satu Kontrakan. Mereka segera berangkat ke Jakarta. Seminggu setelahnya, Ayah dan ibu yang bertugas sebagai Dubes di Malaysia datang dengan wajah sedihnya. Yang paling menyedihkan adalah aku tak bisa pulang, untuk menemui Lia dan menepati janjinya. Apalagi bacaan al-Qur’an belum rampung juga. Setelah lebaran, Ayah dan Ibu mengajakku ke Negeri Jiran itu. Studi di Jakarta dipending dahulu alias Terminal sementara. Atas saran Keluarga besar dan keinginan Ibu, aku harus memutuskan utuk meneruskan kuliah disana pula. Sejak saat itu, aku tak pernah pulang ke desa, tanah kelahiranku dan bertatap muka dengan kakek dan nenek. Apalagi pada,Lia.
“Hey, ojo nglamun sore-sore, ayo sholat ashar dulu biar gak ada tanggungan, nanti cerit-cerita lagi”. Dengan segera, kuikuti langkah Idris menuju Mushola kecil sebelah rumahnya.
Setelah kupanjatkan doa untuk Ayah Ibu, kakek dan nenek, hati ini melantunkan harapan pada-Nya untu Lia, yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Sudah menikah atau masih tetap sama seperti dahulu. Mungkin jika ia sudah menikah bersyukurlah lelaki yang mendapatkannya, mendapatkan wanita Sholihah dambaan para Arjuna. Dan kelak akan menjadi Bidadarinya di syurga.
“Dris, mau tidak kamu antar aku kekampungnya Lia?”. Kucoba menawarkan keinginan terpendam kepada kawan setiaku itu.
“Sekarang,Mal?” dengan senyum simpul diwajahnya.
“Kalau mau sih, gak papa sekarang. Tapi Ijin dulu sama mbak Sarah!” godaku pada Idris yang masih tetap tampan, meski kerjanya diladang.
“Iya, nanti tak minta restu Istriku dulu”.
Tampak anak Idris hendak pergi ke surau untuk mengaji. Yang besar namanya Amir kelas 2 SD dan yang kecil Hanifah duduk di kelas TK Kecil. Setelah mendapat restu dari bundanya Amir dan Ifa. Tepat jam empat sore, Honda meliuk-liuk menuju kampung cinta, eh...kampungnnya Lia yang jarak tempuhnya sekitar 5 kilometer dari rumah Idris.
Setelah sampai dan jalannya masih segar diingatanku, tampak rumah sederhana dengan banyak bunga diteras dan ada beberapa yang kering karena tak diguyur oleh air. Kami pun segera turun, dan mencoba memberi salam pada tuan rumah dan mengetunya tiga kali. Setelah beberapa menit kemudian, tetangganya keluar dengan menggendong putrinya yang masih bayi.
“Cari siapa, Mas?”
“Yang punya rumah kemana,Mbak?”, tanyaku pada perempuan muda itu.
“Ibu Aminah sudah satu minggu yang lalu ikut anaknya dan menantunya di Malang, rumahnya sepi,Mas”.
“Kalau boleh tahu, dimana rumah anaknya,Mbak?”Idris menyahut cepat.
“Yang saya ingat diperumahan Banyu Asri nomor 10, coba saja cari disana”.
Setelah bermusyawarah dengan Idris, kami pun segera pulang dan berpamitan pada ibu muda itu dengan tangan hampa, tapi yang tersisa adalah sebuah alamat yang menjadi tanda tanya, apakah ini alamat milik Lia dan suaminya? Rasanya hancur hati ini mendengar informasi dari tetangganya itu.
Akhirnya kami putuskan untuk mencarinya besok. Aku meminta Idris untuk menemaniku dan meminta ijin kepada istrinya. Bayanganku, Lia sudah bersuamikan orang yang belum juga aku kenal. Mungkin ia sudah bahagia disana, dan untuk apa aku harus mencari apalagi jika nanti kehadiranku akan mengganggu kebahagiannya.
Malam itu, mata terpejam tapi hati tak tenang. Tidur tak nyeyak, kadang miring kekiri, miring kekanan, ganti posisi, akhirnya tak tidur semalaman.
“Kamu ini masih ngantuk ya Mal?” tanya nenek melihatku kusut, sebab semalam tak bisa tidur.
“Ndak bisa tidur, Nek!”, nenek melihat kearahku heran, tak biasanya cucu yang paling disayanginya berubah begini. Namun, hati nurani orang tua sangatlah peka, apalagi pada cucunya sendiri yang dirawatnya sedari kecil itu.
“Kalau masih ngantuk setelah sarapan istirahat, dulu katanya mau ada janji sama Idris!”. Senyum manis kukembangkan pada nenekku tercinta.
Saat ini hati dan badanku tak siap jika menerima kenyataan bahwa Lia sudah menikah, padahal gadis itu sangat diharapkannya saat ia pulang kekampung halaman. Jika saja dahulu ia sering pulang dan komunikasi berlanjut, kejadiannya mungkin tak akan seperti ini. Dan yang bersanding menemani Lia adalah teman dimasa SMP dan menjadi sahabat yang setia baik suka maupun duka. Dialah arjuna pencari cinta. Namun cinta Arjuna kandas ditengah jalan sebab jalanya tak sehaluan. Apalah daya, yang terjadi tak akan dihapus dan diganti. Kamal menelpon Idris untuk tidak melanjutkan misi pencarian Lia, rasanya dia sudah menyerah.
Karena terkejut dengan pengakuan Kamal, Idris berusaha membujuknya agar dia mau bersemangat mencari tahu jawaban yang sebenarnya.
“Jika hanya diam di tempat, kau tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi,kawan!”. “Kuharap kau tak menyesal dengan keputusanmu itu, siapa tahu Lia belum menikah dan yang menikah itu saudaranya yang lain?”. Idris merasa sedih pada kawan satu-satunya itu.
“Kurasa ia tak memiliki saudara,Dris!”.
“Ayolah kawan aku bersamamu, jika memang Lia bukan Jodohmu, masih ada Lia yang lain yang terbaik untukmu!”. Rasanya Idris sudah hilang akal membujuk Kamal.
“Lia beda dengan yang lain”. Sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan tampak butiran bening itu mengalir, disela jari kurus Kamal.
“Terserah kamu, Mal. Kalau kamu tidak mau dibantu, aku pulang saja. Rasanya aku tidak berarti bagimu, jika sedihmu tak mau lagi kau bagi!” Idris tampak putus asa dan mencoba berdiri dari tempat duduknya.
“Dris....”. “Insya Allah besok aku siap”. Dengan mimik wajah sendu ditampakkan oleh Kamal. Idris menyambutnya dengan senyum lega. Dia menganggukkan kepala dan berlalu meninggalkan Kamal yang bermuram durja.
* * *

Keesokan hari, keduanya berangkat pukul sepuluh pagi dengan membawa alamat yang diberikan oleh tetangga Lia. Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya ketemu juga komplek perumahan Banyu Asri no 10 dengan taman kecil yang asri didepan rumahnya.
“Pencet belnya, Mal!” Idris menyenggol lengan Kamal.
Setelah dipencet, tak lama kemudian mulai terbuka sedikit pintunya. Siapakah gerangan dibalik pintu berdaun jati warna putih itu, hati Kamal berdebar tak karuan.
“Assalamu’alaikum...” Idris mengucap salam, tampak kamal hanya tertunduk.
“Wa’alaikumsalam....Cari siapa,Mas?”. Seorang lelaki tinggi semampai dan badanya tegap dibalik daun pintu keheranan.
“Apa benar ini rumahnya Ibu Aminah, yang dulu rumahnya di jalan Abdul Halim no 339?” Idris memberanikan diri bertanya.
“Iya...betul, mas-mas ini siapa ya?”
“Kami.....” mata Kamal melirik kedalam rumah.
“Siapa, Mas?” seorang wanita memotong jawaban Kamal.
“Kami Teman Lia, saya Kamal dan ini Idris”.
Wajah seorang wanita yang baru keluar sangat terkejut melihat sosok lelaki yang tak dikenal itu. Wanita itu,bukan Lia.
“Kamal..?” masih tidak percaya, dan akhirnya kami dipersilahkan untuk masuk kedalam.
“Mbak siapa ya?” tanya Kamal penasaran.
“Saya kakaknya Lia, dan ini suami saya”. Ada rona bahagia diwajah Kamal, yang sendu tadi. Idris pun tersenyum merasa lega, bahwa orang laki-laki itu bukan suami Lia. Jika dunia terbalik dan dia suami Lia, bisa mati berdiri kawannya itu.
“Kalau boleh tahu, Lia ada dimana ya, Mbak?”. Rasanya Kamal tak sabar ingin bertemu dengan wanita impiannya itu.
“Sebentar ya Kamal”. “Mas ayo masuk sebentar, ada yang mau saya katakan”. Lelaki tegap itu mengikuti istrinya masuk kekamar dekat ruang tamu. Setelah kira-kira sepuluh menit, mereka kembali dengan membawa amplop jingga, kemudian menyodorkan pada Kamal.
“A-Apa, ini Mbak?” pikirannya penuh teka-teki.
“Nanti bukalah, itu surat dari Lia yang ditulis sebulan yang lalu”. Rasanya hati mulai terguncang lagi. Ada apa dengan Lia?apa yang terjadi? Pikirannya mulai tak karuan.
“Kamal ingin bertemu Lia?” tanya kakak Lia dan Kamal dengan cepat ia mengangguk.
“Sekarang atau besok?” Mbaknya Lia menawar.
“Sekarang tidak apa-apa kok, Mbak!” melirik kearah Idris dan diikuti anggukan Idris tanda setuju.
“Baiklah kalau begitu kami antar kalian menemui Lia, disana juga ada ibu. Motor kalian biar dimasukkan bagasi saja. Dan ikut dengan mobil kami”.
Tanpa menawar lagi, Jazzi putih meluncur keluar. Dan meninggalkan perumahan asri itu. Didalam mobil tampak ada ketegangan dalam diri Kamal dan Idris, dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini. Kamal memperbanyak bersholawat agar hatinya tenang. Sementara Idris diam membisu, sesekali pasangan suami istri itu saling berpandangan dengan raut wajah yang tak dimengerti.
Waktu dhuha telah lewat, tergantkan dengan siang yang panasnya menyengat. Tampak lalu lalang kendaraan bermotor. Dua kali ada sedikit kemacetan lalu lintas. Malang tak lagi seperti dulu, banyak bangunan yang menghiasi pinggir jalan besar. Kini banyak Mall-mall yang menjulang dan mewah, sedikit sekali rumah kuno yang berdiri tegak dengan pohon-pohon disekelilingnya tak lagi rindang.
Seorang pemuda bermata elang itu, tampak sayu melihat kearah kaca disampingnya. Tampak lamunan mengenang masa remajanya dulu, yang belum mengerti akan sebuah makna cinta. Dipandangnya langit biru dan awan putih yang menggores indah. Tapi tak sebiru hatinya waktu itu. Ada mendung yang menyesakkan dada, debaran halus dijantungnya seakan menguatkan keadaan batin sang pemuda yang resah. Sepanjang jalan, doa ia panjatkan pada Robbul Izzati yang rahman dan rahim dan berharap semua akan baik-baik saja
(to be continued.....^-^)



sayembara!

mau tahu alur cerita selanjutnya???
coba tebak bagaimana akhir dari cerita seorang pemuda bernama KAMAL?
akankah ia akan bertemu dengan LIA? atau malah sebaliknya!akankah berakhir bahagia?atau malah sebaliknya? jika jawaban tepat, akan ada hadiah menarik, yaitu JEMPOL DUA dari sang penulis (*_^)
nantikan kisah selanjutnya......

Enter your email address:

Perjalanan belum berakhir

Senja mulai tegak diperaduannya
Tuk turunkan sang raja siang
Berlarian bocah-bocah kegirangan
Disaat surau kecil ditinggalkan

Damar-damar indah terpasang
Membuat pesona disepanjang jalan
Meski menunggu kelamnya malam
Alunan dan sahutan azan berkumandang

Disebuah dusun kecil aku dibesarkan
Membuat mata ini terbuka lebar
Keindahan akan keramahan sekitar
Hingga tak sanggup tuk ditinggalkan

Tersadar dalam lamunanku
Aku...sebuah tiang mereka
Pengabdianku...diharapkan disana
Jiwa ragaku....membuat harus tetap bertahan

Jalan hidup yang setapak
Kadang berliku kadang terjal
Semua butuh perjuangan dan tekad
Hingga sejarah tersenyum pada kita

Mungkin....suatu saat cita-cita ini kandas
Tak berbuah dan sangat menyakitkan
Namun, dari situ kita dapat dewasa
Tak semua kegagalan membawa petaka.

Enter your email address:

Udan ing Malang

Udan deres dalan kota Malang
Aku mlayu golek yup-yupan
Setitik jinjit karo pencolotan
Golek aman soko banyu udan

Ambek konco-konco nerobos udan
Kadang mripit dalan kos-kosan
Mandeg diluk nyeruput teh pojan (pojok dalan)
Awak anget, bonuse tunutan gak kudanan

Moleh kesoren tekok lab. MIPA
Mari praktikum Biokimia
Eman tenan lek ditinggal
Soale dosene Killer tenan

Udan tambah deres,angine nemen
Rasane bukuku gak aman
Pikiran selak moleh,ati gak sabaran
Syukur, angkot teko nampung awak kademen

Longgoh sesel-seselan
Soale manungsane kakean
Untung, awakku rodo kurusan
Gak popo, seng penting kengean

Dalane kota Malang kebanjiran
Pancen wes jarang wit-witan
Opo maneh di bangun kos-kosan
Kali amber gak ono penyerapan

Terakhir numpak bis Jombang
Mudun makam pahlawan
Awak teles gebes, Kuto Batu ora udan
Wong ojekan heran, aku kisinan

Udan iku Rahmate Pengeran
Gak ono udan, kebingungan
Teko omah, mari salam mlebu pawon
Dadar jagung jangan asem, enak tenan...

Eling-eling,15-04-2009

Enter your email address:

Detak Jam-ku : Airs

Detak jantung jam mejaku
Detik satu-satu dijam delapan sepuluh
Dibawah bulan berudu
Dering mayaku menunggu

(kuterlena dengan cerita syahdu yang berdengung ditelingaku, kadang buat menangis diselingi gurauan jenaka menggelitik.
Membekas dihati....)

(berulang sejarah terputus, dan harus kucari sendiri, membuat menanti. Dan kini,suara atau cerita syahdu
disaput oleh sunyi.....)

Detak jantung jam mejaku
Detik satu-satu dijam delapan sepuluh
Dibawah bulan beludru
Dering mayaku menunggu....

Kedip bintang bernuansa
Sedang kelam mulai bertahta
Denting telingaku berdansa
Seindah murai menghias angkasa

Jika mampu kuhentikan waktu
Kan kudengar syair rindu
Penghapus duka lara
Jadi senyum wajah sendu

Detak jantung jam mejaku
Semakin cepat ia berlalu
Detik tunjuk jam sepuluh sepuluh
Lelah kutunggu mayaku....

Risau hati tak menentu
Menanti suara yang dirindu
Kepingan sejarah rindu jadi satu
Hingga dapat terbingkai dihatiku

Namun,
Apalah arti penantian itu
Saat surya gantikan bulan
Tak ditemukan sepanjang malam
dia, gantikan dengan kunang-kunang

02-01-2009

Enter your email address:

Rabu, 08 April 2009

Miris

Menapakkan kaki ditanah kering
Telusuri debu hitam pekat penyakit
Udara makin lebam tak bersahabat
Batang kurus daun tak segar

Manusia .......
Tertawa saat para yatim menangis
Masih bisa menelan dunia saat janda mengantri tanah
Tak terbayangkan lagi, para lansia bernafaskan fatamorgana

Dunia ini,
Hembusan gunung muntahkan lahar
Raja api melahap jantung empunya
Ombakpun menghantam tak terima

Duh Gusti...
Akan menjadi apa duniaku ini?
Bukankah ruh Kau tiupkan tanpa sia-sia
Tapi makhluk-Mu, tak sadar jua

Duh Gusti....
Masihkah ada senyum yang dapat kulihat
Adakah rindu yang masih menetap
Doa dhuafa mengiris dan melaknat

Inikah karma-Mu, ya Rabb?
Atas sebutir dzarah dosa kami yang berlipat
Terkumpul jadi samudra keruh menunggu azab
Hanya Rahman Rahim-Mu yang diharap

"Dan bila dikatakan kepada mereka:
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
mereka menjawab: ""Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."""
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”(Al-Baqarah:10-11)

Enter your email address:

Sepuluh Ribu

Dikantongku ada sepuluh ribu
Satu-satunya sisa hartaku
Didapat dari sol sepatu
Dari jam sepuluh sampai jam tujuh

Girang, kubawa sepuluh ribu
Kupegang erat dalam saku
Takut jatuh, atau
Ditiup angin kotaku

Sepuluh ribu hasil keringatku
Berwarna merah jambu
Walaupun Satu
Dia berharga bagiku

Saat lewat jalan setapak
Dengan senyum dan lompat-lompat
Tampak ibu duduk batuk –batuk
Mengeluh dadanya tak sembuh

Ibu malang, membuat iba
Kurelakan merah jambu untuknya
Kutinggal dan kudengar puji doanya
Meski tak kugenggam, aku sangat lega
”nanti makan apa, ya?”

(2008)

Enter your email address: