Minggu, 19 April 2009

KAMAL-LIA

“Taxi,mas?”. Sebuah taxi meluncur kearahku, dengan segera kumasuk dalam mobil putih itu sebab hari mulai senja.
Lega rasanya sudah sampai ditanah kelahiranku, ada sejuta rindu yang ingin kutumpahkan dan pasti akan banyak cerita yang mengalir dari bibir orang yang tersayang. ‘Nenek aku pulang!’ batinku, jalan ini tetap sama seperti ketika kutinggal dahulu. Lima tahun tahun pengembaraanku di negeri orang untuk sebuah obsesi pendidikan.
“Wukirsari, Pak”, kulihat dari sepion bapak sopir mengangguk mengerti tujuanku.
Desa itu terlalu mahal dan akan terus kubingkai kenangan manis didalamnya dilubuk hati ini. Maghrib menjelang, kulihat bangunan tua itu sudah tak asing lagi,meski direnovasi aku tetap mengenalnya.
“Assalamu’alaikum...”, tampaknya penghuninya sedang sholat berjamaah. Kuletakkan tas hitam kesayanganku itu diatas kursi jati, rasanya ku tak sabar dengan empunya istana kecil ini. Setelah dua orang suami istri itu mengucap salam akhir dari sholatnya, tampak meronanya melihatku duduk disamping mereka.
“Subhanallah.....cah ganteng ini ndak bilang kalau mau pulang!”, dikecupnya pipiku dengan sayang.
“Sudah dari tadi,nak?”
“Baru datang, nek!” kakek memelukku erat, tampak kurus sekali tubuh beliau.
“Sebentar tak buatkan kopi manis kesukaanmu ya!” dengan semangat nenek menuju dapur kecilnya yang kini lantainya bukan tanah lagi. Rasanya kangen berat dengan kopi buatan nenek sendiri.
“Bagaimana kuliahnya, sudah selesai?” kakek masih sangat sehat dan tegap diusianya yang hampir kepala tujuh.
“Alhamdulillah, tinggal wisuda saja. Sekarang masih liburan sambil nunggu jatah kursi wisuda”
“Ibumu sudah tahu kalau kamu pulang kesini?”
“Sudah,kek!”
“Kakek, ayo ajak Kamal makan bersama. Sayur asem sama dadar jagungnya sudah saya hangatkan. Nanti keburu dingin lho”. Tampak nenek sibuk sendiri menyiapkan piring dan hidangannya.
“ Saya sholat maghrib dulu,kek”.
“Ya sudah tak tunggu, Le”.
Suasana ini sudah lama sekali kuinginkan, makan bersama dengan lauk seadaanya tapi sangat istimewa. Dulu, nenek pernah marah besar karena aku terlambat pulang. Seusai mengaji sore, tiba-tiba dijalan ada layangan putus, namanya saja anak lanang, jelas tergiur dengan berlarian seperti kompetisi perebutan harta karun yang melayang diudara. Karena keasyikan, ba’da maghrib baru sampai rumah. Nenek sangat marah, membentakku dengan keras dan melarang aku mengaji besoknya. Tapi setelah aku menyesali dan tangisku sesenggukan, nenek memelukku erat dan menasihatiku agar tidak membuatnya khawatir. Sejak saat itu aku berjanji akan pulang tepat waktu, dan yang membuat tangisku diam adalah nenek menyuapiku sayur asam dan dadar jagung kesukaanku. Apalagi, setelah berlarian perut ini berontak minta diisi.
Setelah cerita mengalir dengan berjuta kerinduan mendalam, tak terasa hari mulai larut, jam dinding menunjuk pukul dua belas malam. Kami pun beristirahat, dan aku melepas lelah diatas kasur empuk yang masih tetap terjaga sepeninggalku. Diatas sana, bulan sabit tampak tersenyum melihat kebahagiaan kami dan sang burung hantu bertengger diatas pohon menutup perlahan matanya setelah menjadi pendengar cerita nostalgia kami bertiga.
Dua hari setelah kepulanganku dari kota Metropolitan, yang penuh kebisingan. Aku teringat pada kawan lamaku Idris. Dan hari ini juga kuputuskan untuk bersilaturahhim kerumahnya. Tak jauh dari desaku, dengan sepeda motor hanya satu kilometer jauhnya. Tampak Idris yang panen buah apel didepan rumah kaget dengan kehadiranku. Serta merta ia menghampiriku dan memelukku erat-erat seperti kebahagiaan menemukan mutiara didasar lautan yang dalam.
“O..walah, Mal-Kamal, nasibmu kok tetep wae. Nggak ada perubahan, tetep kurus kering kebanyakan filosofi kamu ini”. Kami tertawa, bercanda dan saling bertukar nasib.
“Kamu gak kepengen kayak aku yang sudah beranak pinang ini? Kapan cari istri? Jangan mikir soal teori, lama-lama kamu nikah sama benda putih-putih penuh sains iku”, Idris meledekku, sesekali ia mengecup putri kecilnya yang duduk dipangkuannya dengan manja, kupandangngi mereka berdua dan kujawab dengan senyum geli karena bicaranya yang khas, jujur dan apa adanya itu membuatku betah ngobrol dengannya.
“Doakan saja, aku segera nyusul. Nunggu wisudaku rampung dan materiku cukup buat menghidupi anak orang”.
“Walah, kelamaan kamu, Mal. Aku saja dulunya gak punya apa-apa. Toh sekarang masih bisa hidup, meskipun sederhana tapi keluargaku penuh syukur. Allah sudah menjatah rejeki kita. Pokonya yakin pada-Nya, kun fayakun-Nya turun”.
“Kamu sudah punya pacar belom?Atau kamu masih belum ada calon?” tampak putri kecilnya turun dari pangkuan Idris dan berlari masuk menemui ibunya.
Aku menggeleng sambil tertawa. “Aku belum ada calon,Kang!”.
“MasyaAlloh, mas Kamal gantenge koyok Ngene gak ono seng karep. Eman tenan”.
“Jangan ngeledek kawan, masih belum ada jodoh, ntar kalau sudah waktunya. Kun Fayakun!” sahutku.
“Jodoh itu jangan ditunggu, tapi dicari dan dikejar. Dulu waktu aku mengenal Sarah istriku, aku jungkir walik mendapatkannya. Kuasanya Allah, si Sarah direlakan juga sama abahnya untukku. Itu karena aku berdoa terus dan ikhtiar kepada Allah agar dipermudah jalan jodoh apalagi minta istri yang sholihah”.
“Iya Kang, tapi sampai sekarang masih ada yang sreg dijadikan istri. Di Kampus ada seorang wanita baik, dan kami sempat mengutarakan isi hati. Tapi, Allah berkehendak lain, ayahnya sudah menjodohkan dengan anak teman ayahnya. Dia tidak bisa menolak, dia orang yang nurut. Akhirnya kandas juga cintaku”. Tampak Idris manggut-manggut.
“Ya sabar, Mal. Mungkin bukan jodohmu. O ya, masih ingat sama Lia?”
“Lia?” nama itu?mencoba mengingatnya lagi.
“Kenapa dengan Lia?” tanyaku meneyelidik.
“Kok malah tanya ke aku? Aneh kamu ini, Mal!”
“Bagaimana kabarnya ya?” pikiranku menerawang membuka memori lama.
“Aku juga sudah lama nggak pernah tahu kabarnya, terakhir ketemu pas nikahanku dengan Sarah empat tahun lebih yang lalu”. Idris mulai mengingat-ingat
Lia, sosok yang sempurna dalam pikiranku. Dia adalah teman di SMP dulu. Karena kehadirannya, aku berubah menjadi sosok Arjuna, yang tebar pesona dan suka mencuri pandang padanya. Selama tiga tahun dari kelas satu aku memendam rasa padanya. Dan ketika aku mulai percaya diri, kuberanikan untuk memberi sepucuk surat cinta merah jambu yang kuminta pada adikku yang suka mengoleksi kertas surat beserta amplopnya sewarna.
Sang Arjuna, membidik anak panah kepada SriLia yang mempesona. Lewat Pramujaya teman seatap Lia, kutitipkan surat merah jambu itu untuknya. Selang seminggu dari pengiriman surat itu. Si Dewi Lia, menolak tawaranku untuk menjadi kekasihnya. Sebab masih terlalu dini bicara tentang cinta. Akhirnya kami menjadi teman yang baik hingga SMA. Sampai saat ini aku masih penasaran dengan Lia tentang perasaanya padaku. Adakah secuil cinta kepadaku dihatinya? Sebab ku tahu ketika aku mendapat beasiswa Kedokteran di UI Jakarta, raut wajahnya sedih dan bermuram durja. Disangkanya aku akan masuk ke PTN yang sama dengannya, Tuhan berkehendak lain. Sehingga, memberi jarak untuk kami berdua. Kudengar dari teman- teman, ia diterima di Universitas Brawijawa.
Ketika liburan awal puasa. Kuberanikan diri untuk mencari dimanakah istananya (seperti legenda Sang Arjuna mencari cinta saja). Karena semasa SMA tidak satu atap, pertemanan kami hanya lewat surat dan salam saja. Itu pun tidak sering, jika dijumlah surat yang sampai ditanganku darinya dengan tulisannya yang indah sebanyak dua buah, lumayan dari pada tidak ada. Waktu itu, esok harinya aku sudah harus kembali ke Jakarta. Bersyukur sekali dapat berjumpa pada malam awal bulan Ramadhan. Dia mengajakku yang awam ini untuk mengikuti program yang disusunnya. Dalam satu bulan harus menghatamkan Al-Qur’an, jadi sehari harus satu juz. Berat sekali batinku, tapi demi cinta, apasih yang tak bisa?
Kalau dia mungkin ringan saja melakukannya, sepertinya ia tahu kekuranganku yang masih mbeler mengaji. Nenekku saja sering memarahiku, pamitan mengaji malah mainan dengan si Entong (Samsul kawanku, badanya gemuk memang). Karena salahku sendiri, bacaanku tak terlalu baik tapi syukur masih bisa baca kalamullah yang mulia itu.
“Bagaimana, bisa khan?” suara lembutnya membuatku meng-Iya-kan saja.
“Kalau tidak sempat Khatam selama sebulan ini, baik aku atau sampean. Nanti ada hukumannya ya!”. “Kalau sampean ndak bisa Khatam, biar Lia hukum setelah lebaran” senyum tipis dan suara yang tegas itu membuatku tertunduk.
“Tapi, kalau Lia yang ndak nyampai, sampean yang beri hukuman, tapi hukuman buat Lia gak boleh berat-berat,ok!” macam mana ada istilah seperti itu pikirku, tapi boleh juga. Jarang-jarang aku khatam Al-Qur’an sebulan. Dasar Lia, ternyata ia romantis juga. Meski tak ada ikatan pacaran, perhatiaannya sangat mendalam.
“Nanti kita akan ketemu setelah lebaran, dan harus jujur ya! Allah saksinya!” kita sepakat akan bertemu lebaran nanti.
Setelah pulang dari kediamannya sang Putri, hati ini penuh bunga. Ada semangat yang membara, dan setelah kembali ke Jakarta kulaksanakan amanah itu sepenuh hati dibulan Ramadhan yang suci. Lebaran tinggal dua minggu lagi, rasanya tak sabar untuk pulang kekampung halaman. Namun, ada yang disesalkan, karena banyaknya tugas kuliah yang menggunung, dan dehidrasi karena puasa. Aku dirawat dirumah sakit, dan harus banyak istirahat selama tiga minggu.
Oh ..Tuhan, rasanya berat hati ini, jika tubuh terkapar lemah tak berdaya. Dan yang mengejutkan adalah nenek dan kakek hadir saat tubuh ini tak sehat. Setelah menerima telegram dari Syarif, teman satu Kontrakan. Mereka segera berangkat ke Jakarta. Seminggu setelahnya, Ayah dan ibu yang bertugas sebagai Dubes di Malaysia datang dengan wajah sedihnya. Yang paling menyedihkan adalah aku tak bisa pulang, untuk menemui Lia dan menepati janjinya. Apalagi bacaan al-Qur’an belum rampung juga. Setelah lebaran, Ayah dan Ibu mengajakku ke Negeri Jiran itu. Studi di Jakarta dipending dahulu alias Terminal sementara. Atas saran Keluarga besar dan keinginan Ibu, aku harus memutuskan utuk meneruskan kuliah disana pula. Sejak saat itu, aku tak pernah pulang ke desa, tanah kelahiranku dan bertatap muka dengan kakek dan nenek. Apalagi pada,Lia.
“Hey, ojo nglamun sore-sore, ayo sholat ashar dulu biar gak ada tanggungan, nanti cerit-cerita lagi”. Dengan segera, kuikuti langkah Idris menuju Mushola kecil sebelah rumahnya.
Setelah kupanjatkan doa untuk Ayah Ibu, kakek dan nenek, hati ini melantunkan harapan pada-Nya untu Lia, yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Sudah menikah atau masih tetap sama seperti dahulu. Mungkin jika ia sudah menikah bersyukurlah lelaki yang mendapatkannya, mendapatkan wanita Sholihah dambaan para Arjuna. Dan kelak akan menjadi Bidadarinya di syurga.
“Dris, mau tidak kamu antar aku kekampungnya Lia?”. Kucoba menawarkan keinginan terpendam kepada kawan setiaku itu.
“Sekarang,Mal?” dengan senyum simpul diwajahnya.
“Kalau mau sih, gak papa sekarang. Tapi Ijin dulu sama mbak Sarah!” godaku pada Idris yang masih tetap tampan, meski kerjanya diladang.
“Iya, nanti tak minta restu Istriku dulu”.
Tampak anak Idris hendak pergi ke surau untuk mengaji. Yang besar namanya Amir kelas 2 SD dan yang kecil Hanifah duduk di kelas TK Kecil. Setelah mendapat restu dari bundanya Amir dan Ifa. Tepat jam empat sore, Honda meliuk-liuk menuju kampung cinta, eh...kampungnnya Lia yang jarak tempuhnya sekitar 5 kilometer dari rumah Idris.
Setelah sampai dan jalannya masih segar diingatanku, tampak rumah sederhana dengan banyak bunga diteras dan ada beberapa yang kering karena tak diguyur oleh air. Kami pun segera turun, dan mencoba memberi salam pada tuan rumah dan mengetunya tiga kali. Setelah beberapa menit kemudian, tetangganya keluar dengan menggendong putrinya yang masih bayi.
“Cari siapa, Mas?”
“Yang punya rumah kemana,Mbak?”, tanyaku pada perempuan muda itu.
“Ibu Aminah sudah satu minggu yang lalu ikut anaknya dan menantunya di Malang, rumahnya sepi,Mas”.
“Kalau boleh tahu, dimana rumah anaknya,Mbak?”Idris menyahut cepat.
“Yang saya ingat diperumahan Banyu Asri nomor 10, coba saja cari disana”.
Setelah bermusyawarah dengan Idris, kami pun segera pulang dan berpamitan pada ibu muda itu dengan tangan hampa, tapi yang tersisa adalah sebuah alamat yang menjadi tanda tanya, apakah ini alamat milik Lia dan suaminya? Rasanya hancur hati ini mendengar informasi dari tetangganya itu.
Akhirnya kami putuskan untuk mencarinya besok. Aku meminta Idris untuk menemaniku dan meminta ijin kepada istrinya. Bayanganku, Lia sudah bersuamikan orang yang belum juga aku kenal. Mungkin ia sudah bahagia disana, dan untuk apa aku harus mencari apalagi jika nanti kehadiranku akan mengganggu kebahagiannya.
Malam itu, mata terpejam tapi hati tak tenang. Tidur tak nyeyak, kadang miring kekiri, miring kekanan, ganti posisi, akhirnya tak tidur semalaman.
“Kamu ini masih ngantuk ya Mal?” tanya nenek melihatku kusut, sebab semalam tak bisa tidur.
“Ndak bisa tidur, Nek!”, nenek melihat kearahku heran, tak biasanya cucu yang paling disayanginya berubah begini. Namun, hati nurani orang tua sangatlah peka, apalagi pada cucunya sendiri yang dirawatnya sedari kecil itu.
“Kalau masih ngantuk setelah sarapan istirahat, dulu katanya mau ada janji sama Idris!”. Senyum manis kukembangkan pada nenekku tercinta.
Saat ini hati dan badanku tak siap jika menerima kenyataan bahwa Lia sudah menikah, padahal gadis itu sangat diharapkannya saat ia pulang kekampung halaman. Jika saja dahulu ia sering pulang dan komunikasi berlanjut, kejadiannya mungkin tak akan seperti ini. Dan yang bersanding menemani Lia adalah teman dimasa SMP dan menjadi sahabat yang setia baik suka maupun duka. Dialah arjuna pencari cinta. Namun cinta Arjuna kandas ditengah jalan sebab jalanya tak sehaluan. Apalah daya, yang terjadi tak akan dihapus dan diganti. Kamal menelpon Idris untuk tidak melanjutkan misi pencarian Lia, rasanya dia sudah menyerah.
Karena terkejut dengan pengakuan Kamal, Idris berusaha membujuknya agar dia mau bersemangat mencari tahu jawaban yang sebenarnya.
“Jika hanya diam di tempat, kau tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi,kawan!”. “Kuharap kau tak menyesal dengan keputusanmu itu, siapa tahu Lia belum menikah dan yang menikah itu saudaranya yang lain?”. Idris merasa sedih pada kawan satu-satunya itu.
“Kurasa ia tak memiliki saudara,Dris!”.
“Ayolah kawan aku bersamamu, jika memang Lia bukan Jodohmu, masih ada Lia yang lain yang terbaik untukmu!”. Rasanya Idris sudah hilang akal membujuk Kamal.
“Lia beda dengan yang lain”. Sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan tampak butiran bening itu mengalir, disela jari kurus Kamal.
“Terserah kamu, Mal. Kalau kamu tidak mau dibantu, aku pulang saja. Rasanya aku tidak berarti bagimu, jika sedihmu tak mau lagi kau bagi!” Idris tampak putus asa dan mencoba berdiri dari tempat duduknya.
“Dris....”. “Insya Allah besok aku siap”. Dengan mimik wajah sendu ditampakkan oleh Kamal. Idris menyambutnya dengan senyum lega. Dia menganggukkan kepala dan berlalu meninggalkan Kamal yang bermuram durja.
* * *

Keesokan hari, keduanya berangkat pukul sepuluh pagi dengan membawa alamat yang diberikan oleh tetangga Lia. Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya ketemu juga komplek perumahan Banyu Asri no 10 dengan taman kecil yang asri didepan rumahnya.
“Pencet belnya, Mal!” Idris menyenggol lengan Kamal.
Setelah dipencet, tak lama kemudian mulai terbuka sedikit pintunya. Siapakah gerangan dibalik pintu berdaun jati warna putih itu, hati Kamal berdebar tak karuan.
“Assalamu’alaikum...” Idris mengucap salam, tampak kamal hanya tertunduk.
“Wa’alaikumsalam....Cari siapa,Mas?”. Seorang lelaki tinggi semampai dan badanya tegap dibalik daun pintu keheranan.
“Apa benar ini rumahnya Ibu Aminah, yang dulu rumahnya di jalan Abdul Halim no 339?” Idris memberanikan diri bertanya.
“Iya...betul, mas-mas ini siapa ya?”
“Kami.....” mata Kamal melirik kedalam rumah.
“Siapa, Mas?” seorang wanita memotong jawaban Kamal.
“Kami Teman Lia, saya Kamal dan ini Idris”.
Wajah seorang wanita yang baru keluar sangat terkejut melihat sosok lelaki yang tak dikenal itu. Wanita itu,bukan Lia.
“Kamal..?” masih tidak percaya, dan akhirnya kami dipersilahkan untuk masuk kedalam.
“Mbak siapa ya?” tanya Kamal penasaran.
“Saya kakaknya Lia, dan ini suami saya”. Ada rona bahagia diwajah Kamal, yang sendu tadi. Idris pun tersenyum merasa lega, bahwa orang laki-laki itu bukan suami Lia. Jika dunia terbalik dan dia suami Lia, bisa mati berdiri kawannya itu.
“Kalau boleh tahu, Lia ada dimana ya, Mbak?”. Rasanya Kamal tak sabar ingin bertemu dengan wanita impiannya itu.
“Sebentar ya Kamal”. “Mas ayo masuk sebentar, ada yang mau saya katakan”. Lelaki tegap itu mengikuti istrinya masuk kekamar dekat ruang tamu. Setelah kira-kira sepuluh menit, mereka kembali dengan membawa amplop jingga, kemudian menyodorkan pada Kamal.
“A-Apa, ini Mbak?” pikirannya penuh teka-teki.
“Nanti bukalah, itu surat dari Lia yang ditulis sebulan yang lalu”. Rasanya hati mulai terguncang lagi. Ada apa dengan Lia?apa yang terjadi? Pikirannya mulai tak karuan.
“Kamal ingin bertemu Lia?” tanya kakak Lia dan Kamal dengan cepat ia mengangguk.
“Sekarang atau besok?” Mbaknya Lia menawar.
“Sekarang tidak apa-apa kok, Mbak!” melirik kearah Idris dan diikuti anggukan Idris tanda setuju.
“Baiklah kalau begitu kami antar kalian menemui Lia, disana juga ada ibu. Motor kalian biar dimasukkan bagasi saja. Dan ikut dengan mobil kami”.
Tanpa menawar lagi, Jazzi putih meluncur keluar. Dan meninggalkan perumahan asri itu. Didalam mobil tampak ada ketegangan dalam diri Kamal dan Idris, dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini. Kamal memperbanyak bersholawat agar hatinya tenang. Sementara Idris diam membisu, sesekali pasangan suami istri itu saling berpandangan dengan raut wajah yang tak dimengerti.
Waktu dhuha telah lewat, tergantkan dengan siang yang panasnya menyengat. Tampak lalu lalang kendaraan bermotor. Dua kali ada sedikit kemacetan lalu lintas. Malang tak lagi seperti dulu, banyak bangunan yang menghiasi pinggir jalan besar. Kini banyak Mall-mall yang menjulang dan mewah, sedikit sekali rumah kuno yang berdiri tegak dengan pohon-pohon disekelilingnya tak lagi rindang.
Seorang pemuda bermata elang itu, tampak sayu melihat kearah kaca disampingnya. Tampak lamunan mengenang masa remajanya dulu, yang belum mengerti akan sebuah makna cinta. Dipandangnya langit biru dan awan putih yang menggores indah. Tapi tak sebiru hatinya waktu itu. Ada mendung yang menyesakkan dada, debaran halus dijantungnya seakan menguatkan keadaan batin sang pemuda yang resah. Sepanjang jalan, doa ia panjatkan pada Robbul Izzati yang rahman dan rahim dan berharap semua akan baik-baik saja
(to be continued.....^-^)



sayembara!

mau tahu alur cerita selanjutnya???
coba tebak bagaimana akhir dari cerita seorang pemuda bernama KAMAL?
akankah ia akan bertemu dengan LIA? atau malah sebaliknya!akankah berakhir bahagia?atau malah sebaliknya? jika jawaban tepat, akan ada hadiah menarik, yaitu JEMPOL DUA dari sang penulis (*_^)
nantikan kisah selanjutnya......

Enter your email address:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar