Rabu, 10 Juni 2009

........KAMAL-LIA

%masih ingat dengan goresan pena cerpen tentang "Kamal-Lia"?
nah, inilah lanjutan dari kisahnya
selamat Menikmati...


***

Tak lama kemudian sampailah mereka disebuah gedung yang menjulang tinggi berwarna putih bernamakan Rumah Sakit Milik Negara. Setelah melewati lorong-lorong yang penuh kamar, dalam benak Kamal risau. Siapakah gerangan yang dirawat disini? Lia ataukan Ibunya?
Setelah sampai dikamar no 251, suster mempersilahkan kami untuk memakai jas rumah sakit lengkap dengan penutup kepala dan hidung agar steril. Tampak terbaring lemah dalam keadaan koma disana dengan infus yang lengkap sosok yang kukenal dan parasnya yang tetap ayu. “Lia”, gumamku.
Tampak sang ibu yang setia menemani anak gadisnya itu dengan tabah. Kakaknya menceritakan bahwa ia tiga minggu yang lalu mengalami kecelakaan, dan ada benjolan darah yang membeku di tempurung kepalanya, setelah di operasi sampai saat ini ia belum sadar juga. Kata dokter, kemungkinan Lia hilang ingatan atau jika tak bisa sadar juga akibatnya akan vatal alias kematian.
Sungguh menyedihkan keadaannya. Komunikasi dengannya harus tetap jalan, sebab pasien masih bisa mendengar orang yang ada disekelilingnya dan mau membantu memberi semangat hidup agar lebih cepat proses penyembuhannya. Kakak Lia mengahampiriku yang duduk lemas tak kuat melihat takdir yang menimpa Lia.
“Sebelum kecelakaan, malamnya sempat ia bercerita tentang kamu,Mal.” Dengan nafas panjang dia melanjutkan.
“Biasanya ia tak mau mengungkapkan rahasia pribadinya. Entahlah, mungkin ini adalah sebuah firasat. Dia cerita banyak tentangmu, sampai dia pernah cerita kalau kau pernah menyuratinya ketika SMA dulu.” Kamal menyimak cerita yang mengalir dari wanita yang dipanggil suaminya itu Zahra.
“Dia tertabrak mobil ketika hendak menolong Hasan anak saya. Dia bisa menolong orang lain tapi tidak bisa menolong dirinya sendiri. Ketika saya membuka tas miliknya, dan melihat-lihat ada yang terselip dibuku catatan hariannya. Sebuah surat yang masih terbungkus rapi untuk sebuah nama, dan itu namamu, Mal.”
Kamal pun teringat amplop yang diletakkan di saku bajunya itu.
“Saya, masuk dulu mbak.” Kamal menarik kursi dan mendekat di dipan Lia. Diluar sana Idris menghubungi orang rumah dan menceritakan apa yang terjadi, dan akan pulang terlambat nantinya.
Dengan pelan Kamal membuka amplop Jingga itu.
Lembar pertama....
Tampak tertulis dipojok kanan atas “Kota Dingin, 11 Maret 2006.” Dia menulisnya dua tahun yang lalu.

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
“SELAMAT ULANG TAHUN”
Akhy Kamal.
“SEMOGA APA YANG KAU CITA-CITAKAN DAPAT TERLAKSANA”
AMIN

Syukurku tak henti-hentinya memuji Allah SWT, yang telah mengaruniakan nikmat yang banyak bagi hambanya yang beriman. Tak lupa setiap doaku, selalu kusebut namamu agar kau disana tetap dalam lindungan Allah SWT, Amin.
Akhy... maaf jika selama ini jarang sekali kubalas suratmu, kini kuberanikan diri untuk membalas surat yang terakhir kau kirim padaku. Tapi, apakah mungkin surat ini akan sampai ketanganmu? Ada sebuah puisi untukmu, dan ini akan mewakili semua surat-surat yang masih tersimpan rapi di almari belajarku.

Kanda,
Ada berlembar layang-layang
Diterbangkan oleh angin malam
setelah terbaca sandimu
terbuka mataku kala petang

masih ingat dengan puisi yang kau selipkan di salah satu suratmu!


Ingin kuceritakan sebuah kisah
Maukah kau dengar sebelum kau terlelap
Banyak kata yang ingin ku ungkap
Sungguh dari lubuk hatiku terdalam

“Lia, aku mencintaimu”

Meski kau berusaha tutup telingamu
Dan mulai tutup turai matamu
Aku berharap suatu saat kau mengerti
Sungguh dari lubuk hatiku terdalam

“Lia, aku mencintaimu”


Senja tenggelam di pucuk cemara
membawa malam yang paling sunyi
kurebahkan jiwaku pada bintang-bintang
diiringi nyanyian kelelawar menggema

Saat sunyi ada doa di balik jendela
Jika Tuhan ijinkan satu bintangnya jatuh
Tercipta untuk siapakah rusukku ini
''Ya Allah perkenankanlah munajah hamba”

Rembulan memelukku hangat
Tarian kunang-kunang hiburan semalam
Mimpi dihati mulai terbukti
Seorang perempuan telah jatuh hati

O, bintang-bintang malam
Hadirkan kepastian akan kesetiaan
Bilakah dedaunan hentikan tangisnya
Menjadi embun, harapanku semalam

” aku menantimu dengan sengaja”


Lembar kedua.......

Aku telah tuntaskan Al-Qur’an karim dua putaran. Dan telah kupersiapkan hadiah, jikalau kau tak sanggup menyelesaikan. Tapi jangan khawatir, yang kuberikan tak akan memberatkan.
Saat kaki ini terhenti, ada benda mungil yang menarik perhatianku. Jika masih aku diberi waktu. Akan ku hibbahkan langsung kepadamu.

Enaugh, jika selama ini saya punya salah, mohon dimaafkan. Semoga Allah SWT mempertemukan kita dalan rinai bahagia.Amin
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Salam rindu dari jauh

Rosalia salsabila


Kutatap wajah Lia yang teduh, butiran lembut ini tak mampu kucegah mengalir dipipi. “O, Lia sadarlah, aku disini. Aku tak akan pergi lagi.” Bisikku didekat telinganya. “Ya Allah bila boleh kuhentikan waktu, kuingin mengulang dan memperbaiki salahku. Agar tak tumbuh akar penyesalan yang terus merambat dikalbu. Aku tak ingin berpisah dengannya, jika Engkau ijinkan biarkan sakitnya kupikul dipundakku ini. Izinkanlah ya Allah ia menjadi tulang rusukku.”

Ditangan, kugenggam sepasang gantungan magnet berbentuk telapak tangan yang tengah menengadah. Jika direkatkan akan membentuk tulisan ukiran arab KAMALLIA dengan jelas. Sejak itu, tak henti-hentinya bermunajah pada-Nya, memohon, merintih, tak malu kumenangis untuk kesembuhan seseorang yang sangat kusayangi.

Tangis itu memecahkan keheningan sang surya. Ada penyesalan dan kerinduan yang mendalam dalam senyum terindahnya. Doa yang dipanjatkan tak henti hentinya mengalir. Lembayung sore mengabarkan duka. Diatas gundukan tanah yang masih basah, ada nisan bertuliskan ROSALIA SALSABILA BINTI AMIN lahir 01-01 1986, wafat 01-01-2008. Kucium dan kudekap tak mau jauh lagi. Biarlah aku mati diatas pusaramu. Rasanya sudah cukup kesedihanku. Rasanya dunia tak berpihak padaku, dan menghimpitku dengan cakarnya yang tajam, sakit.

Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)



“Mas Kamal.....! ayo cepat bangun, tahajud dulu. Nanti keburu fajar lho...!” suara lembut itu membangunkan mimpi indahku. Dia seorang bidadari yang dikirim untukku sejak ku di rahim ibu. Wanita sholihah yang amanah. Kunikahi dua hari yang lalu. Di usiaku yang ke tiga puluh tujuh.
“Iya, Dinda-ku sayang....”.

Kota dingin, April 2009

Enter your email address:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar